(2) ... TANJUNG DATUK

Perjalanan menuju Tanjung Datuk dimulai, waktu itu saya berkesempatan kesana ditemani teman-teman panitia Festival Pesisir Paloh (FESPA) pasca Acara 6 Juni 2015. Kami memulai perjalanan tidak dari pantai Teluk Atong, tidak ada nama untuk pantai ini yang pasti sebelum muara sungai tempat pangkalan kapal-kapal nelayan merapat. Dari sini butuh waktu 45 menit untuk tiba di Tanjung Datuk. Di Tanjung Datuk ada dua pilihan untuk merapat, di bagian Indonesia dengan pemandangan gerbang “Welcome Tanjung Datoe” di Pos Penjagaan TNI-AD atau di bagian wilayah yang diklaim negara Malaysia yaitu Pasir Perumput. Pilihan kami saat itu adalah Pasir Perumput. Disebut Pasir Perumput karena sepanjang pantai Tanjung Datuk sebagian besar adalah pantai bebatuan, hanya sedikit sekali pantai yang memiliki pasir untuk merapat. Uniknya di Pasir Perumput adalah adanya tumbuhan rumput laut melambai kedatangan dari dalam air, selain itu pantai pasirnya juga di tumbuhi rerumputan sehingga penamaan Pasir Perumput melekat.

Inilah Tanjung Datuk, Pasir Perumput adalah bagiannya. Setibanya di Pasir Perumput jika dipandang dengan jeli, ada sebuah patok segitiga besar yang terletak kokoh di atas batu. Menurut cerita yang saat itu turut serta bersama saya daerah ini masih abu-abu alias tidak jelas. Sangat miris mendengar batas yang tak jelas. Ia memaparkan “Patok inilah batas yang sebenarnya dari zaman penjajahan yang dibuat oleh Inggris yang menjajah Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, namun saat ini Malaysia sudah mengklaim ini Pasir Perumput miliknya dengan bangunan plang di atas bukit menuju mercusuar untuk mempertegas wilayah ini miliknya. Bagitupula pembangunan mercusuar di laut yang menghebohkan dunia saat Malaysia membangunnya dan kemudian di hancurkan oleh Indonesia. Mereka membangun berdasarkan Patok Baru yang di sepakati di tahun 1976 saat pemetaan Jangtop oleh TNI yang hingga kini dipakai, padahal pengecekan bersama saat itu adalah salah karena banyak patok baru yang dibangun dengan mengabaikan patok seperti yang ada di Pasir Perumput yang juga ada ditempat lainnya”. Cerita itu dapat diterima oleh nalar, karena dipertegas lagi oleh narasumber lain sebelum saya berangkat ke Tanjung Datuk yang juga sering menemani TNI dalam beberapa perjalanan “ketika menemani dalam pengambilan sampel cor beton, hasilnya beton di patok itu sesuai yaitu dibangun pada zaman penjajahan, lebih tua usia beton ini dibandingkan usia beton pada patok baru yang kini dipakai”. Kesimpulannya benar sekali patok tapal batas bergeser.

Dari Pasir Perumput kami menuju mercusuar milik dua negara serumpun, jalur trekking di bukit ini sudah jelas karena sering dikunjungi. Namun sayang pemandangan asri dirusak oleh beberapa sampah makanan dan minuman. Butuh waktu 30 menit untuk mencapai puncak Bukit di Tanjung Datuk yang terdapat mercusuar. Setibanya di atas bukit sambutan bangunan Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Distrik Naviasi Kelas III Pontianak menyambut. Bangunan megah ini berdiri kokoh di ujung negeri yang membuat saya bangga melihatnya dibandingkan dengan bangunan miliki Malaysia. Namun sayang tampak tak begitu terawat, rumput semak mulai menutupi lingkungannya, kemudian dinding bangunan yang usang oleh sarang laba-laba dan sampah yang berserakan menjadikan suasananya tak begitu enak dipandang. Kami disambut oleh tiga petugas Navigasi yang sedang berjaga, dengan santai suasana keakraban terjalin karena salah seorang dari kami sudah sangat sering berkunjung kemari membawa pengunjung dari kalangan wisatawan maupun militer. Sebenarnya jumlah mereka berempat, satu orang sedang turun ke Temajuk untuk berbelanja logistik. Salah satu petugas juga bercerita “sebenarnya yang harus berjaga di bangunan ini adalah tiga instansi yaitu TNI-AD, TNI-AL dan Navigasi, namun kenyataannya hanya kami yang selalu berjaga, mereka hanya sesekali datang”. Perbincangan berlanjut dengan patroli Tapal Batas yang dilakukan TNI-AD “mereka bertugas selama 6 bulan kemudian ditukar dengan petugas lain, selama tugas mereka hanya sekali dalam melakukan pengecekan tapal bata. Jadi pengecekan tapal batas hanya 6 bulan sekali” tegas teman saya yang sering memandu. Memang tidak objektif jika hanya mendengarkan cerita satu pihak, karena waktu yang mepet saya tidak sempat bertanya-tanya kepada TNI yang bertugas disana.

Belum puas sampai disini, banyak sekali sebenarnya yang bisa didatangi, seperti salah satunya Batu Bejulang yang juga menjadi daya tarik wisatawan dan melihat patok batas negeri lainnya dengan waktu tempuh trekking 30 menit. Namun sekali lagi karena waktu yang mepet perjalanan setengah hari berakhir disini. Membuang rasa penasaran mercusuar setinggi 50 meter dari permukaan tanah saya naiki untuk melihat bentuk dari Tanjung Datuk yang sering dilihat melalui peta. Sungguh pemandangan luar biasa. Tak ada ciptaan-Nya yang tak mengagumkan. Segala sudut pandangpun diabadikan dengan jepretan kamera. Walaupun belum puas menikmati pemandangan di Tanjung Datuk, panggilan makan siang bersama oleh ibu-ibu panitia yang ikut serta menemani tak dapat saya hiraukan. Kami makan bersama layaknya keluarga, salah satu yang membuat saya betah adalah keramah-tamahan penduduk Desa Temajuk. Pukul 16.00 masih dalam WIB kami harus pulang agar tak kemalamam tiba di Temajuk, sebuah hal yang menarik ketika berada di Tanjung Datuk adalah, sinyal Malaysia yang sangat membantu untuk komunikasi namun beban biaya yang digunakan sangat berat karena mengenakan tarif Internasional. Dalam benak sempat lewat kapan sinyal Indonesia dapat didapat ditempat ini?

Perjalanan turun lebih singkat daripada saat naik, 15 menit sudah tiba kembali di Pasir Perumput. Untuk terakhir kalinya mengabadikan momen di Patok Segitiga yang seharusnya sebelah barat patok itu milik Indonesia tak saya lewatkan sembari bertanya mengenai bekas cat yang menempel. Jika diperhatikan dengan nalar, salah satu ujung segitiga patok ini yang mengarah ke laut sebelah kiri adalah milik Indonesia dan sebelah kanan milik Malaysia. Rekan saya yang menemani menerangkan “bekas cat ini sudah lama, berwarna merah putih dengan tulisan di batunya NKRI harga mati. Namun cat ini dihapus oleh orang yang tak dikenal yang diduga adalah Malaysia karena mereka menganggap ini wilayahnya”. Pola Vandalisme dengan meninggalkan bekas cat di patok dan bebatuan alam tak akan memberikan ketegasan itu milik NKRI menurut kacamata saya, justru dengan itu mempermalukan kelakuan kita sebagai bangsa yang berdaulat. Solusinya bagi saya adalah dengan segera melakukan pembangunan seperti yang dilakukan Malaysia untuk mempertegas batas wilayah NKRI dimanapun itu. Jika ini tetap dibiarkan NKRI Harga Mati yang ditulis disana sini akan menjadi NKRI Kehilangan Harga Diri seperti kasus lepasnya pulau terluar yang kalah dalam pertarungan di Mahkamah Internasional karena Malaysia sudah lebih dulu mengelolanya. Sedikit lagi yang hampir terlewat Patok Segitiga seperti yang ada di Pasir Perumput ada lagi di bagian atas bukit Tanjung Datuk yang sudah dihancurkan menurut cerita teman saya yang sering memandu, jika diperhatikan dengan jeli di atas Patok Segitiga ada bekas baut, berarti ada lempengan keterangan yang sudah terlepas dan tak diketahui apa isinya. Semoga daerah abu-abu yang tak jelas ini segera jelas dengan warna pembangunan dari negera kepulauan NKRI yang kita banggakan.














belantang trip
Previous
Next Post »
0 Komentar