Musim Batu Semakin Membatu

Cadas, sayapun tak bisa luput dari ketertarikan terhadap musim batu yang semakin membatu saat ini. Segala jenis batu berkeluaran dikala nilai jual dan belinya semakin tinggi dan semakin banyak diminati. Akan tetapi di Kalimantan Barat sendiri tak ada patokan harga untuk budget yang harus keluar dari masing-masing jenis batu. Jika ada ketertarikan dari si pembeli berapapun akan dibayar, batu si penjual. Inilah yang membuat orang semangat mencari dan berjualan batu. Setiap jalan di Kota Pontianak sudah ada yang membuka lapak untuk menjual hingga pengasah untuk membentuk batu bongkahan menjadi batu siap pasang dijari.

Ini beberapa batu yang pernah mampir ke jari saya. 

Ini orang kebanyakan mikir batu 

favorit, kecubung karang Sempalai

kecubung lumut

kecubung platinum

kecubung rambut emas

kecubung coca-cola/cincau

kecubung ungu rambut emas
batu Aceh, Netfrit dan Black Zade biasa dan super

Giok totol-totol Aceh


Tapi harus waspada, semakin banyaknya batu yang beredar peluang penjahat batu semakin terbuka lebar, belakangan terdengar kabar batu palsu beredar dipasaran sehingga pembeli harus berhati-hati jika membeli. Parahnya lagi pernah terjadi pembunuhan gara-gara batu, hidup memang keras sekeras batu. Waktu itu malam hari yang saya sudah lupa waktu tepatnya, di Tugu Digulist atau Bundaran Bambu Runcing.

Saya baru sadar setelah seorang teman yang sudah sejak dulu berdagang batu (pemain lama) berpesan “jika bepergian ke lapangan, tolong carikan batu!!!”. Ternyata dari beberapa batu yang beredar pernah saya temui saat ini dulunya sama sekali tak dihiraukan saat ketemu di hutan. Sekarang setelah paham maka misi akan bertambah jika masuk hutan yaitu cari batu. Tapi tetap dengan berbasis konservasi, ambil seperlunya dan tidak merusak tumbuhan lain. 


Pernah Makan Air Gula campur Nasi? Kita Sama...

Pernah Makan Air Gula campur Nasi? Kita Sama...
Lepas dari kemiskinan bukan hal mudah bagi bangsa Indonesia, kemiskinan dibungkus dengan kemewahan yang selalu jadi tonjolan. Padahal dibalik tonjolan itu ada rasa sakit dan memar menahun dikehidupan masyarakat Indonesia. Lihatlah jauh-jauh, lihat perbatasan yang serba terbatas. Lihatlah pesisir, yang membuat nyengir jika dilewati. Cermin negara ada pada tepiannya, inilah bangsa dengan sumber daya alam berlimpah dan bersumber daya manusia yang sangat banyak namun hampir semua tak bersumber daya.

Di perkampungan yang jauh dari kehidupan kota, sangat beruntung NKRI masih jiwa raga mereka yang mendiaminya. Dibalik jiwa raga yang hanya untuk NKRI, ada harapan kesejahteraan yang diinginkan. Tak perlu hanya diperhatikan, tapi harus dipedulikan. Bagaimana tidak, ketika pendapatan hanya mampu  menghasilkan beras hasil panen padi sendiri, tak ada lauk pauk yang menemasi si nasi. Sehingga agar ada rasa dalam menyantapnya, air gula campur nasi bisa jadi makanan utama siang atau malam. Akan sedikit mewah ketika pendapatan berlebih dengan kopi campur nasi.


Curhatku untuk INDONESIA

Dekatkan Diri Pada Sang Pencipta Melalui Hobi

Suara angin terdengar bak nyanyian gunung bertiup membelai ngarai menaiki punggungan menyegarkan tubuh yang berjalan diatasnya. Saat itu kami terus menapakkan ribuan langkah untuk mengantar Camar di 1.460 m dpl. Saya bersama rekan Nurdin yang ditugaskan Mapala Untan selalu berada paling belakang untuk memastikan mereka semua dapat memenuhi kewajiban sebagai Anggota Muda Sispala Camar Smansa Singkawang untuk tiba di Puncak Bawang dalam Ekspedisi Tapak Embun. Sekalipun dibasahi tetesan hujan hutan tropis semangat mereka tak luntur untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta melalui hobi. Tujuh jam melangkah tibalah di dataran tertinggi yang berada disalah satu Kabupaten Bengkayang.

Bivak didirikan ditengah hamparan pegunungan yang tampak dibentengi awan. Sunset berlalu sayu tak terlihat dibaliknya. Petang datang menghampiri malam kami lalui dengan keceriaan bersama sembari makan malam dan meneguk minuman hangat. Walaupun kurang beruntung tak melihat sunset, Tuhan berikan Sang Rembulan untuk kami mandi cahaya malam itu dihiasi pijaran bintang. Malam kami lewati dengan diskusi tentang kepencintaalaman sebagai proses pembinaan kepada Sispala Binaan, hingga akhirnya satu persatu mulai memasuki bivak untuk beristirahat, kami semua terlelap. Namun sebelumnya alarm dipasang untuk tidak melewatkan sunrise dari Bawang.

Dering alarm memecah didalam bivak, membangunkan semua untuk bergegas menikmati pemandangan Raja Cahaya yang terbit dari ufuk timur. Tak menyiakan momen jepretan kamera fotografer yang ikut serta bersama kami terdengar sibuk untuk mengabadikan pemandangan yang takkan didapat ditengah kota. Tak lama sarapan terhidang untuk dinikmati yang disiapkan oleh mereka yang mendapat giliran memasak. Sungguh kenikmatan yang berbeda sarapan pagi diketinggian dengan suasana sunrise. Selesai sarapan dan recheking untuk penurunan, sedikit waktu masih digunakan untuk merekam pemandangan sebelum turun.

Perjalanan turun masih dengan jalur yang sama dari Pos PLTA yang tidak befungsi sebagaimana namanya. Seperti saat mendaki Pak Amin yang berada paling depan rombongan yang berjumlah 15 orang termasuk dirinya sebagai pemandu  jalan (local guide) hingga akhirnya tiba di Pos PLTA setelah melangkah turun 5 jam lamanya. Perjalanan turun lebih santai karena banyak menyinggahi potensi alam sepanjang jalur pendakian. Air terjun, sungai, tebing lumut dan menjepret fauna yang indah dipandang mata.

Di Pos PLTA kami kembali menginap, seperti malam di puncak, diskusi dengan agenda berbagi pengalaman kami lakukan dihalaman Pos. Suasana akrab semakin melekat dimalam terakhir ini karena besok kami semua akan berpisah kembali melakukan rutinitas harian seperti biasa dengan kesibukan masing-masing.

Secarik coretan pena tentang kisah di Bawang 2 - 5 Juli 2012 lalu akan kembali terulang dengan melewati jalur yang berbeda 24 - 26 April 2015 dengan orang yang mungkin berbeda atau mungkin pula sama. The next trip via Madi. Ingin bergabung menikmati kisah seperti diatas, info lebih lanjut klik disini.

Gunung Bawang 1.460 m dpl dari kejauhan (foto: Yohanes Kurnia Irawan)
Batas kawasan hutan lindung
Pos PLTA
Sungai yang dilintasi jika melewati jalur Pos PLTA



Pemandangan malam dari Puncak Bawang

Salah satu puncak di gugusan pegunungan Gunung Bawang (Foto: Yohanes Kurnia Irawan)

(Foto: Yohanes Kurnia Irawan)


Pemandangan dari jalur yang dilintasi



Aktifitas warga Desa Suka Bangun